Sabtu, 20 Agustus 2016

TANGIER


Cap Spartel

Tercenung di balkon Les Atlas Mohades. Memandang selat Gibraltar yang berkilauan. Bulan Mei awal, tepi musim dingin. Inilah kampung halaman Ibnu Batutah, kelana Berber itu : Tangier. Tanger. Tanjah. Tujuh abad setelah kelahirannya, sembari menikmati jalanan dan orang-orang yang melintasinya, saya membayangkan sosoknya ; Ia mengenakan djellaba warna pasir, menunggang kuda atau onta, berhenti di pelabuhan sibuk, naik kapal dan menyeberangi Gibraltar.

Pada malam hari, terdengar suara menderu-deru. Saya mengira mesin atau entah apa. Lalu saya menyadari itu jeritan angin dari Gibraltar. Tidakkah berbahaya ? Saya mengintip ke jalan, mencari-cari ketakutan  pada orang-orang.  Di kafe dan restoran yang nampak dari balkon, para lelaki bercengkrama. Di jalan, orang-orang dan kendaraan melintas. Tenang, biasa.  Bulan sabit menggantung di langit pekat.

Sebuah kamar, terlalu luas untuk seorang diri. Double Bed. Meja tulis besar. Kamar mandi luas. 

Sebelum mengalami angin menderu-deru, kami sempat mengitari Avenue Mohammed VI. Buru-buru kembali ke hotel karena tak tahan dengan udara yang terasa menghujam tulang. 

Esoknya, kami mendekati pantai. Sama seperti malam hari sebelumnya, kami tak tahan dingin. Angin menggigit.










Di lobby hotel, ada deretan lukisan penguasa dari dinasti Almohad dengan penjelasan berbahasa Perancis. Dinasti Berber ini berkuasa dari tahun 1130-1269 merujuk ke tulisan tersebut. Di Wikipedia, Kekhalifahan Almohad dicatat berkuasa dari tahun 1121-1269 dengan daerah kekuasaan hingga ke Spanyol. 

















Di kota ini, kami tetap makan di hotel. Keburu kenyang, kami tak berpikir untuk mencari makan di luar. Padahal, ketika berada di negara lain, seharusnya mencicipi makanan setempat yang otentik. Jalanan biasanya menyajikan jajanan lokal berlimpah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar