Jumat, 26 Agustus 2016

HAJI FILIPINA

Selalu ada kisah, kalau tidak menyebutkan kisruh, dalam musim haji. Tahun ini tentang 177 jamaah WNI yang berangkat lewat Filipina dengan memakai quota negara tetangga tersebut.
Saya teringat dua tahun lalu seorang sahabat menawarkan saya cara ini. Ia berkata memakai quota negara lain adalah praktik lazim dilakukan biro-biro haji, termasuk biro besar dan ternama. Ongkosnya setara ONH plus. 
Pernyataan lazim dilakukan termasuk biro haji ternama itu menggoda saya. Sebelumnya saya telah membaca entah dimana perihal praktik seperti itu. Seorang adik kelas kami, bersama suaminya, berhasil lewat jalur Filipina dan berbagi kisah dengan sahabat saya. Ringkasnya, telah banyak orang desperate  di republik tercinta ini melakukannya. 
Abang sahabat saya punya biro haji dan dia lah yang akan mengurus. Saya cukup menyediakan uang dan menyiapkan berkas yang diperlukan. Termasuk foto untuk visa. Belakangan ketika kasus ini merebak, saya berpikir-pikir foto visa itu jangan-jangan sebetulnya untuk bikin paspor Filipina palsu ? Soalnya seingat saya, foto perempuan pada visa haji dan umroh harus berjilbab tanpa kelihatan telinga ?
Jadi, mengira saya benar-benar tertarik, sahabat saya menyuruh saya bikin pas foto menggunakan jilbab putih tapi dengan kedua telinga terlihat. Hal yang bikin saya repot sekaligus geli. Telinga saya jenis yang rapat ke kepala sehingga begitu susah membikinnya mencuat keluar dari jilbab tanpa terasa tak nyaman. Indres memotret saya, pakai kamera ponsel. 
Saya mengirim foto seadanya itu ke email sahabat saya. Apakah saya serius mau melakukan Haji Filipina ? Sebenarnya tidak. Otak saya menyimpulkannya ilegal dan hati saya diliputi perasaan bersalah. 
Haji adalah ibadah. Beribadah bukankah harus dengan jalan yang benar ? Di sisi lain saya berpikir boleh jadi sebenarnya tak mengapa menempuh cara seperti ini. Ada sebuah negara kelebihan quota dan ada yang kekurangan. Tidak salah secara substansial namun salah secara administratif kenegaraan ? eh, begitu ?
Sahabat saya lalu memberitahu bahwa saya harus ke Filipina untuk mengurus visa. Ha ? Saya ke Filipina hanya untuk urusan visa ? Keraguan dan rasa bersalah saya membuat saya tegas menolak. Tidak, saya tidak mau Haji Filipina ini. Jika terjadi sesuatu saya yang buruk, negara mana yang akan bertanggungjawab ?
Saya membayangkan diri saya terlunta-lunta dan nampang di televisi sebagai korban penipuan dan ketololan. Suami saya memarahi saya. Keluarga saya di Makassar dan Surabaya menanti-nanti perkembangan nasib saya di televisi, sebagaimana situasi yang kerap nampak ketika kisruh haji muncul. Tidak, tidak, saya tak sudi mempermalukan dan mencelakakan diri saya.
Sahabat saya berkata tak mengapa jika saya dan satu lagi sahabat kami yang diajaknya, tak mau. Pada musim haji tahun itu, sepertinya Abangnya berhasil meloloskan jamaah melalui Filipina karena sahabat berkata, ketika musim haji selesai, " Ah andai kalian ikut.."
Saya tak menyesalinya samasekali. Setidaknya, ketika giliran haji saya tiba, saya menempuh jalan yang benar (cetak miring karena saya merasa benar itu mesti dibahas panjang lebar). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar